APAKABARBOGOR.COM – Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus) memerintahkan Pemilu 2024 untuk ditunda. Terkait hal tersebut Geri Permana pengamat Hukum Tata negara (HTN) menilai putusan itu cacat logika.

“Putusan PN Jakpus hakikatnya merupakan sebuah cacat logika dan keliru dalam praktik penyelenggaraan hukum Indonesia,” kata Geri Permana. Jum’at, 3 Maret 2023.

Menurut Geri putusan tersebut keliru karena telah memutus dalam ranah penundaan pemilu atas perkara gugatan perbuatan melawan hukum yang diajukan oleh Partai PRIMA terhadap KPU RI, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mendapatkan kritikan dari berbagai kalangan.

“Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN.Jkt.Pst yang menghukum KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan pemilu 2024 atau menunda pemilu, sangatlah bertentangan dengan Konstitusi dan juga Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu,” ungkap Geri.

Geri berpendapat perihal penyelenggaraan pemilu, Konstitusi Indonesia pada intinya telah mengunci dengan frasa “setiap lima tahun sekali,” sehingga harusnya Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dapat menolak gugatan yang diajukan oleh Partai PRIMA.

“Hal tersebut lantaran bukan kewenangannya terutama mengenai petitum penundaan pemilu yang masuk dalam kerangka berpikir perbuatan melawan hukum sebagai objek gugatan,” ujarnya.

Jika seandainya partai PRIMA merasa dirugikan oleh KPU pada saat proses tahapan verifikasi administrasi, seharusnya diselesaikan melalui forum sengketa yang digawangi oleh Bawaslu.

“Dan jika di rasa putusannya nanti masih tidak sesuai ekspektasi maka kemudian bisa berjenjang ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN-red),” lanjut Geri.

Lebih lanjut Geri menjelaskan forum penundaan pemilu sebenarnya merupakan ranahnya Mahkamah Konstitusi (MK) atau bisa juga melalui keputusan politik DPR di parlemen.

Dalam sengketa keperdataan seperti gugatan perbuatanelawan hukum antar para pihak yang bersengketa perlu dipahami bahwa putusan itu sebenarnya tidak berlaku umum dan mengikat bagi semua pihak.

Lain halnya jika menyangkut sengketa hukum administrasi negara dan hukum tata negara seperti misalnya pengujian Undang-Undang yang di nilai bertentangan dengan Konstitusi di Mahkamah Konstitusi.

Atau produk hukum lainnya yang secara hierarki berada di bawahnya yang bisa dilakukan pengujian formil atau materiil di Mahkamah Agung.

“Putusan aquo berpotensi mengancam demokrasi dan merusak sistem ketatanegaraan Indonesia. Idealnya putusan PMH tidak boleh berdimensi terhadap siklus serta agenda ketatanegaraan. Artinya, putusan PMH semacam ini tidak bersifat Ergo Omnes (mengikat semua pihak) dengan kata lain tidak bisa mengikat pada lembaga-lembaga negara sebagai organ konstitusional,” tandasnya. (Haidy)