APAKABARBOGOR.COM –Puluhan Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) lintas federasi yang berhimpun di beberapa konfederasi berkumpul di Hotel Onih, Kota Bogor, Kamis (25/5/2023).

Mereka menggelar diskusi bertajuk ‘Menjaga konsistensi perlindungan dan pembelaan hak serta keadilan untuk pekerja buruh Indonesia dalam bingkai kebersamaan’.

Kegiatan diskursus yang digagas Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman (FSP RTMM) — Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) ini, selain membahas beberapa persoalan klasik buruh termasuk Omnibus law (Undang-Undang Cipta Kerja) juga menyinggung posisi buruh dalam irisan jelang tahun politik Pemilu dan Pemilihan Presiden (Pilpres).

Ketua Umum FSP RTMM-SPSI, Sudarto, mengemukakan, dalam menghadapi tahun politik Pemilu maupun Pilpres. kaum buruh akan bersikap toleran terhadap pilihan politik buruh untuk menjaga persatuan dan kebersamaan buruh.

“Akan tetapi kaum buruh hanya akan memilih figur presiden yang peduli terhadap kesejahteraan buruh di Indonesia,” tegasnya.

Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Jumhur Hidayat, yang turut hadir sebagai panelis dalam diskusi tersebut, mengatakan hal senada, Ia berharap masyarakat khususnya kaum pekerja agar berhati-hati dalam menentukan pilihan pemimpin ke depan.

“Berhati-hati menghadapi Pilpres. Kalau salah pilih bisa parah.

Presiden itu aktor, ada aktor ada sistem.

Sistem buruk kalau aktornya baik bisa jadi baik. Begitu juga sebaliknya.

Pengurus Serikat Pekerja yang jumlahnya jutaan se-Indonesia juga termasuk aktor penting bagi perubahan yang harus membangun kekuatan bersama,” ungkapnya.

Tak berbeda dengan panelis lainnya, Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK), Mira Sumirat, menegaskan bahwa siapapun presidennya yang pasti buruh akan memilih presiden yang berani mencabut UU Omnibus Law.

Ketua Umum Serikat Pekerja Nasional (SPN), Djoko Heriyono, bahkan menekankan agar presiden RI ke depan harus berani membentuk Komisioner Ketenagakerjaan.

“Tingkat pelanggaran peraturan undang-undang ketenagakerjaan hampir 70 persen.

Sementara ini pengawas ketenagakerjaan (wasnaker) tidak punya fungsi penindakan.

Sehingga perlu ada komisi khusus.

Siapapun presidennya harus berani bentuk komisioner,” tandasnya.

Isu lain terkait peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang disoroti dalam diskusi yang juga dihadiri Guru Besar Universitas Padjajaran Soeganda Priyatna tersebut adalah tentang RUU Omnibus kesehatan, di mana di dalamnya terdapat pasal yang menyatakan bahwa rokok termasuk zat adiktif seperti narkoba.

Akibatnya, sebanyak 140 ribu buruh industri rokok menolak Omnibus Kesehatan dan sudah 57 ribu buruh telah membuat petisi online menolak RUU Omnibus Kesehatan karena rokok disetarakan narkoba.

“Rencana 10 Agustus mendatang kami akan menggelar aksi besar mencabut Omnibus Law dan Omnibus Kesehatan,” timpal Jumhur Hiidayat.

Masih di tempat yang sama, Abdullah selaku Ketua Umum FSPKEP, menyatakan mendukung penuh forum diskusi tersebut dan berharap terus berkelanjutan tanpa membedakan atribut dan pilihan politik.

“Sejak era reformasi tahun 1998 ada 156 lembaga Serikat Pekerja dan 20 konfederasi.

Saatnya sekarang bersatu dan mendukung penuh forum ini agar berkelanjutan,” tandasnya.

Dalam diskusi tersebut, sedikitnya ada empat hal utama masalah keadilan sosial bagi masyarakat pekerja/buruh di Indonesia yang semakin sulit untuk didapatkan dengan lahirnya instrumen regulasi dari pemerintah.

Yakni, adanya penurunan nilai pesangon dan penghargaan masa kerja bagi pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja dan memasuki masa pensiun.

Kedua, lemahnya supremasi hukum ketenagakerjaan, ditambah adanya trend pelanggaran terhadap pelaksanaan nilai-nilai yang terkandung dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) oleh oknum pengusaha dengan dalih PKB harus mengikuti UU Cipta Kerja No.11 Tahun 2020.

Di mana berlakunya UU Cipta Kerja membuka peluang di beberapa perusahaan melakukan sistem kerja menggunakan sistem pemagangan, dan tidak perlu membuat suatu sistem perjanjian kerja, sebagaimana layaknya hubungan kerja antara pemberi upah dan penerima upah.

Ketiga, makin banyaknya perusahaan memakai sistem kerja outsourcing karena semakin dileluasakan oleh sistem regulasi ketenagakerjaan.

Keempat, perjanjian Kerja Waktu Tentu (PKWT) semakin diberi keleluasaan durasi masa kerja sampai lima tahun.

Hal tersebut semakin jauh dari harapan pekerja/buruh untuk mendapatkan kepastian kerja.

Atas dasar pemikiran dan kondisi seperti itulah kami dari Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman (FSP RTMM-SPSI) mengajak kepada seluruh stakeholder praktisi serikat pekerja/buruh untuk berdiskusi dan mencari solusi terbaik dalam perlindungan HAK dan pembelaan Keadilan bagi anggota khususnya, bagi buruh/pekerja Indonesia pada umumnya agar bisa merasakan keadilan sosial dan kesejahteraan yang layak sebagaimana amanat UUD RI Tahun 1945.
(acep Mulyana/ash)***